LEMBAGA PARATE EKSEKUSI DALAM PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK HAK TANGGUNGAN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Hak tanggungan adalah suatu istilah baru dalam hukum jaminan yang diintrodusir oleh UUPA (UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria), yang sebelumnya belum dikenal sama sekali, baik dalam Hukum Adat maupun dalam KUH Perdata. Hak tanggungan atas tanah adalah merupakan bagian dari reformasi dibidang agraria, seperti yang ketentuan-ketentuan pokoknya diatur dalam UUPA, dimana dalam Pasal 51 disebutkan bahwa hak tanggungan dapat dibebankan kepada Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan diatur dengan undang-undang. Berdasarkan amanat Pasal 51 UUPA tersebut maka kemudian lahirlah UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah (dalam tulisan ini UU ini selanjutnya disebut UUHT).
Sebelum lahirnya UUHT, sesuai dengan ketentuan peralihan dalam Pasal 57 UUPA, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan tentang Hipotik seperti diatur dalam buku II KUH Perdata dan Credietverband tersebut dalam S. 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan S. 1937-190. Adanya dua macam hak jaminan ini karena waktu itu tanah-tanah masih dibedakan atas hak-hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak barat, dimana berlaku ketentuan-ketentuan tentang Hipotik seperti diatur dalam KUH Perdata dan hak-hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak Indonesia asli (adat), dimana berlaku ketentuan-ketentuan tentang Credietverband seperti diatur dalam S. 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan S. 1937-190.
Dengan berlakunya UUHT, sesuai dengan Pasal 29 UUHT tersebut, maka ketentuan-ketentuan mengenai Hipotik seperti diatur dalam buku II KUH Perdata dan ketentuan-ketentuan tentang Credietverband seperti diatur dalam S. 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan S. 1937-190 sepanjang mengenai pembebanan hak tanggungan atas hak-hak atas tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.
Ditetapkannya UUHT untuk menggantikan ketentuan perundang-undangan tentang Hipotik dan Credietverband tentu saja bukan tanpa pertimbangan yang mendasar. Seperti dapat dibaca dalam konsiderans UUHT, alasan penggantian tersebut tidak hanya didasarkan kepada filosofi yuridis, yaitu sebagai pelaksanaan dari amanat Pasal 51 UUPA seperti telah disebutkan di atas, tetapi juga didasarkan kepada filosofi sosiologis (Usman, 1998:42), yaitu bahwa disatu pihak ketentuan-ketentuan tentang Hipotik dalam KUH Perdata dan Credietverband dalam S. 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan S.1937-190, dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan sehubungan dengan perkembangan tata ekonomi Indonesia, dan di lain pihak untuk menyesuaikan dengan perkembangan yang telah dan akan terjadi di bidang pengaturan dan administrasi hak-hak atas tanah serta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak, sehingga selain Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan yang telah ditunjuk sebagai obyek hak tanggungan oleh UUPA yang dapat dilakukan eksekusi, maka Hak Pakai atas tanah tertentu yang wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahkan, perlu pula dimungkinkan untuk dibebani hak tanggungan.

1.2 Rumusan Masalah
Dari pembahasan yang akan disampaikan, rumusan permasalah dari pembahasan adalah :
1. Bagaimana kedudukan eksekusi apabila dihubungkan dengan ketentuan dalam Pasal 6 UUHT
2. Bagaimana kedudukan lembaga parate eksekusi,baik dilihat dari segi doktrin maupun dari segi praktek.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Dan Sifat-Sifat Hak Tanggungan.
Definisi hak tanggungan disebutkan dalam Pasal 1 butir 1 UUHT, yang berbunyi :
hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut hak tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana tersebut dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian hak tanggungan mempunyai tiga unsur, yaitu :
1. Merupakan hak jaminan untuk pelunasan utang;
2. Dapat dibebankan pada hak atas tanah, dengan atau tanpa benda di atasnya;
3. Menimbulkan kedudukan didahulukan daripada kreditor-kreditor lain. (Subekti, 1985 : 40)
Seperti dikatakan oleh Subekti (Ibid : 41), hak tanggungan adalah bentuk jaminan yang kuat bagi debitur karena :
1. Memberi kedudukan yang diutamakan bagi kreditor (Pasal 1 butir 1 UUHT);
2. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan, dalam tangan siapapun obyek itu berada (Pasal 7 UUHT);
3. Memenuhi azas spesialitas dan publisitas, sehingga mengikat pihak ketiga serta memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang berkepentingan (Pasal 11 jo. Pasal 13 UUHT);
4. Mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya (Pasal 14 s/d 20 UUHT);
Satrio (1997 : 237) menambahkan tiga ciri lagi dari hak tanggungan, sehingga hak tanggungan mempunyai sifat sebagai hak kebendaan (sebagai lawan dari hak perorangan), yaitu :
1. Mempunyai hubungan langsung dengan/atas benda atau hak atas benda tertentu yang dalam hubungan dengan hak jaminan, benda atau hak atas benda itu adalah milik pemberi hak tanggungan;
2. Yang lebih tua mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, yaitu menyangkut soal peringkat masing-masing hak tanggungan dalam obyek hak tanggungan dibebani dengan lebih dari satu hak tanggungan (Pasal 5 UUHT);
3. Dapat dipindahkan/dialihkan kepada orang lain (Pasal 16 UUHT).
Obyek hak tanggungan adalah hak atas tanah, yaitu : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Berbeda dengan Hipotik yang disamping obyeknya mencakup seluruh benda yang melekat dan merupakan kesatuan dengan tanah, maka untuk menjadi obyek hak tanggungan bersama dengan hak atas tanahnya, maka bangunan, tanaman atau hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan menjadi milik dari pemegang hak atas tanah harus dinyatakan secara tegas didalam APHT-nya (Akta Pemberian hak tanggungan). Hal ini sesuai dengan azas pemisahan horizontal yang dianut oleh UUPA.
Hak tanggungan mempunyai sifat yang tidak dapat dibagi-bagi kecuali bila diperjanjikan di dalam APHT-nya. Dengan demikian sekalipun utang sudah dibayar sebagian, hak tanggungan tetap membebani seluruh obyek hak tanggungan. Namun bila hak tanggungan dibebankan kepada beberapa obyek, maka dapat diperjanjikan bahwa pelunasan angsuran utang yang besarnya sama dengan nilai masing-masing obyek akan membebaskan obyek tersebut dari hak tanggungan, sehingga hak tanggungan hanya membebani sisanya saja.
Seperti telah disebutkan di atas, hak tanggungan memberi kedudukan kepada pemegang sebagai kreditur yang diutamakan atau diistimewakan (preferen). Seperti kita ketahui dalam KUH Perdata, kreditur dibedakan antara kreditur konkuren dan kreditur preferen.
Di dalam Pasal 1131 KUH Perdata disebutkan bahwa segala kebendaan dari si berutang (debitur), baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan yang dibuatnya. Hal ini berarti bahwa segala harta kekayaan seseorang menjadi jaminan untuk seluruh utang-utangnya. Bila pada saat utangnya jatuh tempo dan ia lalai dalam memenuhi kewajibannya terhadap krediturnya, maka kekayaan orang itu dapat disita dan dilelang, yang hasilnya kemudian digunakan untuk memenuhi kewajiban atau membayar hutang kepada krediturnya.
Namun jaminan pelunasan utang seperti tersebut dalam Pasal 1131 KUH Perdata tersebut tidak memberi jaminan bahwa seorang kreditur akan mendapat pembayaran penuh dari hasil lelang barang-barang debitur, sebab ada kemungkinan hasil penjualan lelang tersebut tidak mencukupi untuk membayar para kreditur secara penuh, sehingga mereka terpaksa harus menerima pembayaran menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing kreditur.
Kreditur yang dikecualikan dari pembagian menurut prinsip keseimbangan di atas hanya kreditur yang mempunyai kedudukan yang diistimewakan (Pasal 1132 KUH Perdata). Oleh karenanya dalam garis besarnya ada dua jenis kreditur, yaitu kreditur yang piutangnya tidak diistimewakan yang biasa disebut kreditur konkuren, dan kreditur yang piutangnya diistimewakan, yang biasa disebut kreditur preferen.
Kreditur preferen akan mendapat pembayaran lebih dahulu dari hasil penjualan barang-barang debitur dan nanti sisanya yang dibayarkan kepada kreditur konkuren menurut prinsip keseimbangan (secara proporsional sesuai dengan besar kecilnya utang).
Di dalam Pasal 1133 KUH Perdata disebutkan pihak-pihak yang berkedudukan sebagai kreditur preferen, yaitu :
1. orang yang berpiutang yang mempunyai hak istimewa;
2. orang-orang pemegang gadai;
3. orang-orang pemegang Hipotik.
Yang disebut kreditur yang mempunyai hak istimewa adalah kreditur yang piutangnya oleh undang-undang diberi kedudukan yang lebih tinggi terhadap kreditur-kreditur lain karena sifatnya piutang itu. Contohnya penjual barang yang harga barangnya belum dibayar mendapat hak istimewa terhadap hasil penjualan barang tersebut. Namun menurut pasal tersebut pemegang gadai dan Hipotik mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari kreditur yang mempunyai hak istimewa tadi.
Keistimewaan atau keutamaan yang dimiliki oleh pemegang gadai, Fidusia, Hipotik, dan hak tanggungan, terutama adalah bahwa dalam hal pihak debitur lalai dalam membayar utangnya (wanprestasi, cidera janji), maka untuk memperoleh pelunasan atas piutangnya kreditur tidak perlu menggugat melalui pengadilan (litigasi). Bahkan bagi pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan di muka umum, yang dalam kepustakaan hukum disebut parate eksekusi.

2.1.1 Utang Yang Dapat Dibebani Hak Tanggungan.
Hak tanggungan tidak hanya dapat dibebankan kepada utang yang sudah ada, tetapi juga terhadap utang yang timbul dari perjanjian pemberian fasilitas kredit, baik yang jumlahnya sudah ditentukan dalam perjanjian tersebut, maupun yang jumlahnya akan ditentukan pada saat pengajuan permohonan eksekusi (Pasal 3 ayat (1) UUHT). Di sini terlihat kelebihan hak tanggungan dibandingkan dengan Grosse Akte Pengakuan Utang, yang hanya bisa dieksekusi bila jumlah utang yang disebutkan di dalamnya sifatnya “fix”, jadi tidak dalam hal jumlah utang masih harus dihitung kemudian (saat pengajuan permohonan eksekusi).

2.1.2 Pemberian Dan Pemegang Hak Tanggungan.
Pemberi hak tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan yang bersangkutan, kewenangan mana sudah dipunyai pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan (Pasal 8 ayat (1) dan (2) UUHT), sedang pemegang hak tanggungan adalah perorangan atau badan hukum sebagai pihak yang berpiutang (Pasal 9 UUHT).
Seperti praktek selama ini yang berlaku untuk pemberian Hipotik dengan menggunakan Surat Kuasa Memasang Hipotik, pemberian hak tanggungan dapat dilakukan berdasarkan Surat Kuasa Membebankan hak tanggungan. Dalam prakteknya dahulu Surat Kuasa Memasang Hipotik fungsinya hanya untuk mengamankan posisi kreditur kalau-kalau debitur lalai dalam membayar utangnya, sehingga jarang kreditur yang benar-benar menggunakan surat kuasa tersebut untuk memasang hipotik , namun praktek yang sama sulit dilakukan pada hak tanggungan karena jangka waktu berlakunya Surat Kuasa Membebankan hak tanggungan hanya 1 (satu) bulan atau 3 (tiga) bulan untuk tanah yang belum terdaftar, sehingga terlalu beresiko bagi kreditur bila surat kuasa tersebut tidak segera digunakan untuk memasang hak tanggungan.

2.1.3 Lahir, Peralihan Dan Hapusnya Hak Tanggungan.
Hak tanggungan adalah hak jaminan yang bersifat accessoir, sehingga untuk pemberian hak tanggungan harus diperjanjikan dalam perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian utang-piutang yang dibuat antara kreditor dan debitor (Pasal 10 ayat (1) UUHT). Pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan APHT (Akta Pemberian Hak Tanggungan) oleh PPAT (Pasal 10 ayat (2) UUHT). Namun saat kelahiran hak tanggungan bukan pada tanggal pembuatan APHT, melainkan pada tanggal pendaftaran pada buku tanah hak tanggungan dan buku tanah obyek hak tanggungan di kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
Tanggal pendaftaran pada buku tanah disamping menentukan tanggal lahirnya hak tanggungan, juga menentukan peringkat hak tanggungan, bila atas suatu obyek dibebani lebih dari satu hak tanggungan, yaitu hak tanggungan yang didaftarkan lebih dahulu peringkatnya lebih tinggi dari yang didaftarkan kemudian. Dalam hal pendaftarannya dilakukan pada hari yang sama, maka peringkat masing-masing hak tanggungan ditentukan oleh tanggal pembuatan APHT-nya.
Soal peringkat ini penting bagi kreditur karena makin tinggi peringkatnya semakin besar kemungkinan untuk memperoleh pembayaran piutangnya secara penuh, bahkan kalau ia berkedudukan sebagai peringkat pertama ia dapat memperoleh pelunasan piutangnya melalui parate eksekusi, seperti telah disebutkan di atas.
Sebagai bukti adanya hak tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat hak tanggungan (untuk selanjutnya dalam tulisan ini disingkat SHT), yang memuat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, yang memberi titel eksekutorial kepada SHT, sehingga SHT mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan berlaku sebagai pengganti Grosse Akta Hipotik, yang dapat dimintakan eksekusi ke pengadilan berdasarkan Pasal 258 RBg (Pasal 224 HIR).
Karena hak tanggungan sifatnya accessoir terhadap perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian utang piutang, maka bila terjadi pengalihan piutang, misalnya karena cessie, subrogasi, atau pewarisan maka hak tanggungan juga beralih kepada kreditor yang baru (Pasal 16 ayat (1) UUHT). Peralihan piutang tersebut harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan yang akan dicatat pada buku tanah hak tanggungan dan buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek hak tanggungan, yang selanjutnya disalin ke dalam SHT dan sertifikat hak atas tanah obyek hak tanggungan dan tanggal pendaftaran tersebut berlaku sebagai tanggal peralihan hak tanggungan bagi pihak ketiga (Pasal 16 ayat (2),(3) dan (5) UUHT).
Karena sifatnya yang accessoir maka bila piutang yang dijamin dengan hak tanggungan hapus, maka hak tanggungan juga menjadi hapus. Sebagai salah satu jenis perikatan, maka perjanjian kredit hapus karena terjadinya salah satu hal tersebut dalam Pasal 1381 KUH Perdata, yaitu karena pembayaran, baik secara sukarela atau melalui proses eksekusi, penawaran pembayaran yang diikuti dengan penitipan (konsinyasi), pembaharuan utang (novasi), perjumpaan utang (konpensasi), pencampuran utang, pembebasan utang, musnahnya barang yang terutang, kebatalan atau pembatalan perikatan.
Disamping itu hak tanggungan juga hapus karena dilepaskan secara sukarela oleh pemegang hak tanggungan, yang dilakukan dalam bentuk pernyataan tertulis dari pemegang hak tanggungan kepada pemberi hak tanggungan.
Hak tanggungan juga hapus karena pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri. Pembersihan tersebut dapat dilakukan atas permintaan pembeli dari obyek hak tanggungan kepada pemegang hak tanggungan yang meminta agar obyek yang dibelinya dibebaskan dari beban hak tanggungan yang melebihi harga pembelian. Pembersihan dilakukan dengan pernyataan tertulis dari pemegang hak tanggungan yang menyatakan dihapuskannya beban hak tanggungan yang melebihi harga pembelian tersebut. Apabila obyek hak tanggungan dibebani beberapa hak tanggungan, dan tidak terdapat kesepakatan diantara para pemegang hak tanggungan untuk membersihkan hak tanggungan yang melebihi harga pembelian, maka pembeli benda tersebut dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang wilayahnya meliputi tempat obyek hak tanggungan yang bersangkutan untuk menetapkan pembersihan itu dan sekaligus menetapkan ketentuan tentang pembagian hasil penjualan lelang diantara kreditur dan peringkat mereka sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun pembersihan tersebut tidak dapat dilakukan bila pembelian itu dilakukan dalam jual beli sukarela (diluar lelang eksekusi) atau ada janji untuk tidak melakukan pembersihan beban hak tanggungan yang melebihi harga penjualan yang diperjanjikan dengan pemegang hak tanggungan pertama dalam APHT.

2.2 Eksekusi Hak Tanggungan
Eksekusi hak tanggungan diatur dalam Pasal 20 dan 21 UUHT.
Pasal 20 ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
Apabila debitur cidera janji, maka berdasarkan :
a. hak pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual obyek hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
b. titel eksekutorial sebagaimana terdapat dalam sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat 2, obyek hak tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tatacara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang hak tanggungan dengan hak mendahului kreditor-kreditor lainnya.
Dari ketentuan ayat ini yang pertama harus dijelaskan kapan atau dalam hal apa seorang debitur disebut cidera janji.
Tentu pertama-tama harus dilihat kepada perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian kredit atau utang piutangnya ( pinjam meminjam uang ) terlebih dahulu. Apabila hal itu diatur dalam perjanjian pokoknya, maka sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata, ketentuan dalam perjanjian itu yang harus diperlakukan. Kalau dalamperjanjian pokok tidak diatur, maka yang berlaku adalah ketentuan dalam Pasal 1763 KUH Perdata, yangmenyatakan bahwa debitur dipandang cidera janji apabila ia tidak mengembalikan pinjaman sesuai dengan jumlah pinjaman dalam waktu yang ditentukan. Dari ketentuan dalam pasal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa seorang debitur dipandang cidera janji dalam hal:
1. Tidak mengembalikan pinjaman sama sekali,baik pinjaman pokok maupun bunganya;
2. Mengembalikan pinjaman tetapi tidak sesuai dengan jumlah yang diperjanjikan;
3. Mengembalikan pinjaman tetapi tidak sesuai dengan waktu yang diperjanjikan.
Ketentuan tentang cidera janji perlu diperhatikan terutama dalam kasus kredit macet Perbankan, karena umumnya didalam perjanjian kredit Perbankan mengembalikan pinjaman tidak dilakukan sekaligus, melainkan dalam beberapa kali angsuran, dimana untuk setiap angsuran sudah ditentukan, baik jumlah pinjaman yang harus dikembalikan maupun waktu pengembaliannya. Seorang debitur yang pada waktu yang ditentukan tidak membayar angsuran atau membayar tetapi tidak sesuai dengan perjanjian, atau membayar angsuran tetapi terlambat dari waktu yang ditentukan dalam perjanjian, maka ia telah melakukan cidera janji. Dalam hal seperti itu, bila kreditur menghendaki sudah dapat dilakukan proses eksekusi sekalipun perjanjian kredit belum jatuh tempo. (Harahap, 2005:202).
Sebelum debitur dapat dinyatakan cidera janji, kreditur harus melakukan apa yang disebut dalam KUH Perdata ingebrekestelling (peneguran) terlebih dahulu kepada debitur, yang harus dilakukan secara tertulis. Dalam peneguran tersebut harus diberitahukan dengan jelas apa yang dituntut dan atas dasar apa, serta kapan diharapkan pemenuhannya (R.Setiawan, 1977:17). Namun peneguran tidak diperlukan bila ditentukan demikian dalam perjanjian pokoknya.

BAB III. 
PEMBAHASAN

3.1 Hubungan Eksekusi Dengan Ketentuan Dalam Pasal 6 UUHT.
Pasal 6 UUHT : “Apabila debitur cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.”
Apa yang diatur dalam pasal ini dalam kepustakaan hukum disebut dengan parate eksekusi, yang merupakan proses eksekusi tanpa campur tangan dan/atau melalui pengadilan.
Kalau dilihat redaksi pasal tersebut maka hak dari pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri adalah hak berdasarkan ketentuan undang-undang (ex lege, ipso jure, by law), sehingga tanpa diperjanjikan hak itu dipandang telah ada pada pemegang hak tanggungan pertama. Namun di dalam penjelasan pasal tersebut harus disimpulkan sebaliknya, yaitu tidak secara ipso jure melainkan harus berdasarkan kesepakatan (M.Yahya Harahap, 2005:197). Penjelasan Pasal 6 berbunyi sebagai berikut :
“Hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang hak tanggungan atau pemegang hak tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang hak tanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemberi hak tanggungan bahwa apabila debitor cedera janji, pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual obyek hak tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi hak tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu daripada kreditor yang lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemberi hak tanggungan”
Oleh karenanya sekalipun hak menjual atas kekuasaan sendiri diberikan oleh Pasal 6 UUHT kepada pemegang hak tanggungan pertama, tetapi kalau janji semacam itu (janji tersebut dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e UUHT yang isinya sama dengan beding van eigenmachtige verkoop tersebut dalam Pasal 1178 KUH Perdata) tidak terdapat dalam APHT, maka pemegang hak Tanggungan pertama tidak dapat menempuh proses parate eksekusi untuk pelunasan piutangnya, melainkan ia harus menempuh proses eksekusi tersebut dalam Pasal 224 HIR / 258 RBg. Yaitu proses eksekusi melalui pengadilan.
Di dalam blanko APHT (lampiran II PMNA/KBPN No.3 Tahun 1996) janji untuk menual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri (beding van eigenmachtige verkoop) seperti dimaksu dalam Pasal 11 huruf e UUHT telah tercantum. Pencantuman tersebut menunjukkan bahwa hak kreditur pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual atas kekuasaan sendiri tidak ex lege (ipso jure, by law), tetapi semata-mata atas dasar perjanjian antara kreditur dan debitur seperti tercantum dalam APHT.
Dari segi lain dengan dimuatnya janji tersebut dalam blanko APHT, maka janji tersebut akan ada pada semua pembebanan hak tanggungan, dan tidak terbatas pada pembebanan hak tanggungan pertama saja. Pertanyaan yang timbul adalah apakah dengan demikian semua pemegang hak tanggungan kemudian berdasarkan janji tersebut dapat menempuh proses parate eksekusi. Kalau kita lihat penjelasan Pasal 6, maka kita dapat menjawab ya. Karena di dalam penjelasan pasal tersebut tercantum kata-kata “Hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang hak tanggungan atau pemegang hak tanggungan Pertama”, dimana kata atau bermakna alternatif yang berarti bahwa hak itu dipunyai oleh pemegang hak tanggungan yang bukan pemegang hak tanggungan Pertama dan juga oleh Pemegang hak tanggungan pertama. Namun apabila dilihat pada ketentuan dalam Pasal 11 huruf e, jelas janji untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri hanya dikhususkan kepada pemegang hak tanggungan pertama. Jadi sekalipun termuat dalam APHT, harus ditafsirkan bahwa janji tersebut hanya berlaku dalam hal kreditur berkedudukan sebagai pemegang hak tanggungan pertama atau kemudian karena perubahan peringkat berkedudukan sebagai pemegang hak tanggungan pertama.
Seperti diketahui peringkat hak tanggungan timbul karena beberapa hak tanggungan membebani obyek yang sama. Karena sifatnya accessoir maka hak tanggungan dari seorang kreditor akan hapus dengan hapusnya piutang yang membebani hak tanggungan tersebut. Dengan demikian maka kreditor tersebut akan keluar dari peringkat hak tanggungan atas obyek tersebut dan peringktanya akan digantikan oleh pemegang hak tanggungan peringkat di bawahnya. Dengan demikian kemungkinan untuk menjadi pemegang hak tanggungan pertama masih terbuka bagi pemegang hak tanggungan yang peringkatnya lebih rendah. Jadinya kreditur yang pada waktu APHT dibuat belum menjadi pemegang hak tanggungan pertama, dapat menggunakan janji tersebut sebagai dasar hukum bagi proses parate eksekusi karena pada saat debitur pemberi hak tanggungan cidera janji ia sudah menjadi pemegang hak tanggungan pertama.
Mungkin yang perlu juga kita persoalkan disini adalah pengertian dari pemegang hak tanggungan pertama, yaitu apakah pemegang hak tanggungan pertama itu hanya ada dalam hal beberapa hak tanggungan membebani obyek yang sama dan tidak dikenal bila satu obyek hanya dibebani satu hak tanggungan. Seharusnya agar tidak timbul tafsiran ganda tentang pengertian pemegang hak tanggungan pertama, pembuat undang-undang harus mencantumkan definisinya dalam Pasal 1 UUHT.
Kalau kita lihat dari susunan pasal, yaitu Pasal 5 berisi ketentuan dalam hal beberapa hak tanggungan membebani satu obyek (ketentuan tentang peringkat hak tanggungan), yang kemudian disusul dengan Pasal 6 yang menyebut pemegang hak tanggungan pertama, maka dapat ditafsirkan bahwa pemegang hak tanggungan pertama hanya ada dalam hal beberapa hak tanggungan membebani obyek yang sama. Namun kalau kita lihat dari segi keadilan dan esensi yang menjadi keistimewaan dari kedudukan sebagai pemegang hak tanggungan pertama, yaitu hak atas parate eksekusi, maka sudah seharusnyalah apabila ditafsirkan bahwa hak itu tidak hanya berlaku dalam hal beberapa hak tanggungan membebani obyek yang sama, tetapi juga dalam hal satu obyek hanya dibebani oleh satu hak tanggungan, dan pemegangnya dengan sendirinya berkedudukan sebagai pemegang hak tanggungan pertama yang berhak atas parate eksekusi. Penafsiran ini sejalan dengan penjelasan Pasal 6 yang seperti dikutip diatas menyebutkan bahwa hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan “yang dipunyai oleh pemegang hak tanggungan atau pemegang hak tanggungan pertama”, dimana frase “hak tanggungan” ditujukan kepada pemegang tunggal hak tanggungan atas suatu obyek yang dengan pemakaian kata “atau” menunjukkan berkedudukan sama dengan “pemegang hak tanggungan pertama”.

3.2 Lembaga Parate Eksekusi, Baik Dilihat Dari Segi Doktrin Maupun Dari Segi Praktek.
Seperti telah dijelaskan di atas, maka parate eksekusi adalah proses yang ditempuh oleh kreditur untuk memperoleh pelunasan piutangnya dari debitur dengan menjual atas kekuasaan sendiri obyek yang menjadi jaminan dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
Kegunaan dari lembaga ini terutama adalah agar kreditur memperoleh kemudahan dalam memperoleh pelunasan piutangnya tanpa perlu menghabiskan biaya, waktu dan tenaga untuk menggugat debitur di pengadilan bila debitur wanprestasi (cidera janji). Tanpa lembaga ini pihak perbankan tidak akan mau menberikan kredit kepada debitur dalam jumlah kecil, karena resiko biaya kredit akan tidak seimbang dengan bunga dari kredit yang diberikannya, padahal yang membutuhkan kredit bukan hanya pengusaha besar melainkan juga perorangan atau perusahaan kecil yang memerlukan permodalam dalam skala kecil. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa banyak perorangan atau perusahaan yang jatuh karena terjerat utang kepada lintah darat yang melakukan praktek bank gelap dengan bunga tinggi, karena sulitnya mereka memperoleh kredit dari bank untuk modal usahanya. Untuk mengatasi hal inilah pembuat undang-undang memberikan fasilitas parate eksekusi kepada kreditur untuk memperoleh pelunasan piutangnya, pertama kali melalui ketentuan dalam Pasal 1178 ayat (2) yang memberikan hak kepada pemegang hipotik pertama untuk memperjanjikan apa yang dalam bahasa Belanda disebut dengan “beding van eigenmachtige verkoop” (janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri). Dengan memperjanjikan kewenangan seperti itu, dalam hal debitur sudah wanprestasi, kreditur bisa langsung menual obyek jaminan di muka umum tanpa harus melibatkan pihak pengadilan. (Satrio, 1997:212-213). BW (Burgerlijk Wetboek) Nederland tahun 1830 pada awalnya belum memuat kemungkinan untuk memuat “beding van eigenmachtige verkoop”. Baru pada tahun 1833 ditambahkan ayat (2) pada Pasal 1223 yang isinya sama dengan Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata (Indonesia) yang seperti telah dijelaskan memberi hak kepada pemegang hipotik pertama untuk memperjanjikan hak untuk menjual atas kekuasan sendiri.
Dalam menerapkan Pasal 1223 ayat (2) BW Nederland (1178 ayat (2) KUH Perdata Indonesia), HR (Hooge Raad, MA Nederland) menganut apa yang dinamakan “lastgeving-teorie” atau teori mandat, yaitu bahwa kreditur pemegang hipotik menjual persil yang menjadi obyek jaminan sebagai jurukuasa dari pemilik persil (Subekti,1985:86). Para ahli menilai teori yang digunakan HR tersebut ganjil karena kalau kreditur melakukan penjualan atas dasar kuasa, maka seharusnya yang menerima hasil penjualan adalah debitur dan bukan kreditur dan menurut Subekti lebih ganjil lagi karena penjualan itu dilakukan oleh kreditur karena menjalankan haknya sendiri dan juga dalam praktek sudah lazim diakui bahwa seorang pemegang hipotik berhak memindahkan hak milik atas persil yang dijualnya itu kepada pembeli persil atas dasar berita acara lelang, kekuasaan mana dianggap telah diperoleh dari haknya untuk melakukan eksekusi. (Ibid : 86).
Dalam arrestnya tanggal 30 April 1934 (N.J 1934,1721) HR masih menunjuk teori mandat di atas, dengan menyebutkan bahwa kreditur menjual berdasarkan kuasa mutlak. Menurut Satrio, sekalipun sejak arrest HR tanggal 11 April 1941, telah terjadi suasana perubahan, dimana HR sudah menggunakan istilah yang netral, namun perubahan sikap HR sepenuhnya baru terlihat dalam arrest HR tanggal 25 Januari 1977, dimana HR tidak saja tidak menyinggung lagi soal pemberian perintah (lastgeving) maupun kuasa, tetapi malahan mengatakan bahwa hak kreditur yang menjual ex Pasal 1223 ayat (2) BW Nederland (Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata Indonesia) sebagai kreditur yang melaksanakan haknya (eksekusi) secara yang disederhanakan (verenvoudegde wijze van executie) (Satrio, 1997:230).
Bagaimana pendapat kalangan peradilan dan yurisprudensi di Indonesia tentang parate eksekusi atas dasar “beding van eigenmachtige verkoop” di atas?
Di atas kita telah menyinggung pendapat Prof.Subekti, hakim karir yang lama menjadi Hakim Agung dan pernah menjabat sebagai Ketua MA. MA sendiri dalam salah satu putusannya telah menganut suatu pandangan yang dapat dikatakan sangat kontroversial tentang eksekusi “beding van eigenmachtige verkoop” yaitu putusan MA tanggal 20 Mei 1984 No.320 K/Pdt/1980. Putusan ini tidak membenarkan pelaksanaan executoriale verkoop berdasarkan klausul eigenmachtige verkoop dilakukan sendiri oleh kreditor tanpa melalui PN, atas alasan :
1. Setiap penjualan lelang (executorial verkoop) berdasarkan pasal 224 HIR, mesti melalui campur tangan pengadilan;
2. Penjualan lelang tidak sah, jika langsung dilakukan jawatan lelang, sebab yang dimaksud dengan jawatan umum pada pasal 1211 KUH Perdata adalah pengadilan, bukan jawatan lelang. (M.Yahya Harahap, 2005:196)
Dalam putusan lain, yaitu putusan MA tanggal 30 Januari 1986 No.3201 K/Pdt/1984, MA telah membenarkan alasan kasasi dalam memori kasasi pemohon kasasi yang mengemukakan bahwa pelelangan tersebut dilakukan oleh Tergugat II asli secara parate eksekusi, dimana MA telah mempertimbangkan “bahwa berdasarkan Pasal 224 HIR pelaksanaan pelelangan sebagai akibat adanya grosse akte hipotik yang memakai kepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa” yang mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan, seharusnya dilaksanakan atas perintah dan Pimpinan Ketua Pengadilan Negeri apabila ternyata tidak terdapat perdamaian pelaksanaan” (Satrio, 1997:233).
Menurut Satrio, dalam pertimbangan di atas MA telah mengacaukan pelaksanaan eksekusi berdasarkan parate eksekusi ex Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata dengan menjual berdasarkan Grosse Akte Hipotik atau Grosse Sertifikat Hipotik. Menjual berdasarkan grosse akte memang harus mendapat persetujuan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan terlebih dahulu. Suatu grosse akte mempunyai kekuatan seperti suatu keputusan Pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan tetap dan pelaksanaannya sama seperti suatu keputusan Pengadilan harus melalui dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan. Tetapi kalau orang melaksanakan parate eksekusi, ia bisa langsung menjualnya melalui juru lelang. (Satrio,Ibid).
Kalau kita mengikuti ratio dari pertimbangan putusan MA di atas, maka fungsi dari janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri (beding van eigenmachtige verkoop), baik menyangkut Hipotik ex Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata maupun hak tanggungan ex Pasal 6 jo.11 ayat 2 huruf e UUHT, menjadi kehilangan makna, sebab ciri pokok dari parate eksekusi berdasarkan “beding van eigenmachtige verkoop” adalah eksekusi dilakukan tanpa melalui Pengadilan. Kalau parate eksekusi harus dilakukan dengan persetujuan dan dibawah pimpinan Ketua PN, maka tidak ada perbedaan antara parate eksekusi berdasarkan Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata untuk Hipotik atau pasal 6 jo Pasal 11 ayat (2) huruf e UUHT untuk hak tanggungan dengan eksekusi Grosse Akte Hipotik atau grosse Sertifikat hak tanggungan menurut Pasal 224 HIR / 258 RBg. Oleh karenanya menurut hemat kami karena Pasal 6 jo. Pasal 11 ayat (2) huruf e sudah jelas-jelas memberi hak kepada pemegang hak tanggungan Pertama untuk melaksanakan hak dan/atau janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek hak tanggungan, maka dalam hal debitur cidera janji pemegang hak tanggungan pertama dapat melakukan parate eksekusi, yaitu menjual atas kekuasaan sendiri obyek hak tanggungan melalui pelelangan umum tanpa persetujuan dan pimpinan Ketua PN.
Penafsiran di atas lebih sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (1) yang hanya menyebut “melalui pelelangan umum” menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Ketentuan “melalui pelelangan umum” inipun diberi kemungkinan pengecualian dalam ayat (2) yang menyebutkan bahwa atas kesepakatan dari pemegang hak tanggungan dan Pemberi hak tanggungan, penjualan obyek hak tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan, jika dengan cara demikian akan dapat diperoleh harga tertinggi yang dapat menguntungkan semua pihak.
Kebolehan untuk menjual dibawah tangan obyek hak tanggungan atas dasar kesepakatan sangat menguntungkan kreditur dan debitur karena dapat mempercepat penjualan obyek hak tanggungan dan mengurangi biaya eksekusi yang harus dibayar oleh debitur. (M.Yahya Harahap, 2005:199)
Kesepakatan untuk melakukan penjualan secara dibawah tangan (tidak melalui pelelangan umum) ini tidak boleh dimuat sebagai janji dalam APHT, melainkan harus dibuat setelah debitur cidera janji (wanprestasi), sebab kalau dicantumkan dalam APHT akan memberi kekuasaan yang sangat besar kepada kreditur yang dapat disalahgunakan untuk mendapatkan keuntungan sepihak dengan merugikan debitur. (M.Yahya Harahap, Ibid:199-200).
Untuk pelaksanaan kesepakatan tentang penjualan dibawah tangan tersebut, oleh ayat (3) disyaratkan :
1. Telah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pihak pemberi dan/atau pemegang hak tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan;
2. Diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat;
3. Tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.
Pemberitahuan disyaratkan tertulis adalah dimaksudkan untuk memudahkan pembuktian bila terjadi sengketa di kemudian hari, sehingga sebaiknya dilakukan melalui surat yang diantar langsung oleh kurir ke alamat yang bersangkutan, yang penyerahannya dilakukan dengan pembubuhan paraf dan tanggal, serta mencantumkan nama terang penerima pada buku ekspedisi, surat tercatat, faxcimille,dll., dan tanggal pemberitahuan terhitung sejak tanggal penerimaan surat dari kurir, tanggal pengiriman pos tercatat, atau tanggal pengiriman faxcimille tersebut. Sedang yang dimaksud dengan pihak yang berkepentingan adalah pihak kreditur-kreditur pemegang hak tanggungan lain atas obyek yang akan dijual dibawah tangan tersebut.
Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi hak tanggungan dengan cara yang bertentangan dengan ayat (1), (2) dan (3) Pasal 20 UUHT, menurut ayat (4) pasal tersebut batal demi hukum. Jadi janji-janji seperti hak kreditur untuk melakukan penjualan dibawah tangan atas obyek hak tanggungan tanpa persetujuan debitur dalam hal debitur cedera janji, atau penjualan dibawah tangan tanpa persyaratan pemberitahuan kepada pihak yang berkepentingan dan pengumuman di surat kabar dan media massa, harus dipandang batal demi hukum, atau batal dengan sendirinya (tidak perlu dimintakan pembatalan kepada hakim), jadi dari semula dipandang janji tersebut tidak pernah ada, sehingga tidak mengikat dan mempunyai akibat hukum.
Debitur dapat menghindari lelang eksekusi atas obyek hak tanggungan dengan melunasi utangnya kepada kreditur dan membayar biaya-biaya eksekusi yang telah dikeluarkan oleh kreditur, yang sesuai dengan Pasal 20 ayat (5) UUHT dapat dilakukan sampai dengan pengumuman lelang dikeluarkan.
Dalam hal debitur pemberi hak tanggungan dinyatakan pailit, sesuai dengan Pasal 21 UUHT, kreditur pemegang hak tanggungan tetap berwenang melaksanakan hak-hak yang diperolehnya menurut UUHT. Hal ini berarti bahwa obyek hak tanggungan tidak termasuk ke dalam budel kepailitan dan pemegang hak tanggungan tetap dapat melaksanakan hak-haknya secara terpisah dari kreditur-kreditur lain.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa apa yang diatur dalam pasal ini dalam kepustakaan hukum disebut dengan parate eksekusi, yang merupakan proses eksekusi tanpa campur tangan dan/atau melalui pengadilan.
Kalau dilihat redaksi pasal tersebut maka hak dari pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri adalah hak berdasarkan ketentuan undang-undang (ex lege, ipso jure, by law), sehingga tanpa diperjanjikan hak itu dipandang telah ada pada pemegang hak tanggungan pertama. Namun di dalam penjelasan pasal tersebut harus disimpulkan sebaliknya, yaitu tidak secara ipso jure melainkan harus berdasarkan kesepakatan (M.Yahya Harahap, 2005:197). Penjelasan Pasal 6 berbunyi sebagai berikut :
“Hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang hak tanggungan atau pemegang hak tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang hak tanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemberi hak tanggungan bahwa apabila debitor cedera janji, pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual obyek hak tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi hak tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu daripada kreditor yang lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemberi hak tanggungan”
Oleh karenanya sekalipun hak menjual atas kekuasaan sendiri diberikan oleh Pasal 6 UUHT kepada pemegang hak tanggungan pertama, tetapi kalau janji semacam itu [janji tersebut dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e UUHT yang isinya sama dengan beding van eigenmachtige verkoop tersebut dalam Pasal 1178 KUH Perdata] tidak terdapat dalam APHT, maka pemegang hak Tanggunganpertama tidak dapat menempuh proses parate eksekusi untuk pelunasan piutangnya, melainkan ia harus menempuh proses eksekusi tersebut dalam Pasal 224 HIR / 258 RBg. Yaitu proses eksekusi melalui pengadilan.


PARATE EKSEKUSI
Hal lain yang juga memerlukan penjelasan adalah eksekusi hak tanggungan berdasarkan pasal 6 jo. Pasal 11 ayat (2) huruf e, yaitu apa yang biasa disebut Parate Eksekusi, yang menurut doktrin adalah pelaksanaan eksekusi tanpa melalui pengadilan, namun dalam praktek peradilan telah mempunyai pengertian yang bias karena yurisprudensi MA menganut pandangan bahwa eksekusi “beding van eigenmachtige verkoop” hanya sah apabila dilakukan berdasarkan persetujuan dan dibawah pimpinan Ketua PN.

4.2 Saran
Harus ada ketegasan hukum dan pemahaman bahwa eksekusi terhadap suatu objek bisa terjadi karena melalui putusan peradilan atau kreditor memang bisa menjual sendiri barang yang dijadikan Hak tanggungan atau parate eksekusi sesuai dengan ketentuan UU Hak tanggungan (UU No 4 Tahun 1996). Sebab apabila tidak ada ketegasan hukum yang mengatur mengenai eksekusi maka akan menimbulkan pemahaman yang bias mengenai legalitas pelaksanaan suatu eksekusi.














Posting Komentar