Pemilihan Umum

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemilihan Umum adalah suatu ajang yang dilaksanakan dalam suatu negara untuk memilih wakil rakyat yang duduk dalam kelembagaan negara, yang dilakukan dengan cara pemilihan suara terbanyak.
Pemilihan Umum di Indonesia dilaksanakan pertama kali pada tahun 1955 untuk memilih anggota-anggota DPR dan Senat. Pemilihan Umum tahun 1955 diselenggarakan dalam 2 tahap, yaitu:
a. tanggal 29 September 1955, memilih anggota-anggota DPR ;
b. tanggal 15 Desember 1955, memilih anggota-anggota Badan Konstituante.
Berdasarkan pasal 1 ayat 4 UU No.3 Tahun 1999, pemilihan umum bertujuan untuk memilih:
a. anggota Majelis Perwakilan Rakyat
b. anggota Dewan Perwakilan Rakyat
c. anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I
d. anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II
Sedangkan asas pemilihan umum adalah sebagai sarana kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
“Sistem Pemilihan Umum adalah rangkaian aturan yang menurutnya (1) pemilih mengekspresikan preferensi politik mereka, dan (2) suara dari pemilih diterjemahkan menjadi kursi”.
Dalam ilmu politik, dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum, diantaranya:
a. Single member constituency (satu daerah pemilihan satu wakil). Biasanya disebut sistem distrik.
b. Multi member constituency (satu daerah pemilihan beberapa wakil). Biasanya disebut proportional representation atau perwakilan berimbang.


Permasalahan

Namun, selain membawa banyak manfaat, Pemilihan Umum juga mengundang berbagai macam permasalahan di dalamnya. Beberapa diantaranya akan dibahas dalam makalah ini. Beberapa contoh permasalahan yang dapat timbul diantaranya adalah:
1. Tentang berbagai macam sistem pemilihan umum itu sendiri,
2. Syarat dan kelengkapan administrasi yang harus dipersiapkan oleh pasangan capres dan cawapres & partai yang mencalonkan,
3. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi selama proses Pemilihan Umum berlangsung,
4. Mengenai petugas pengawas Pemilu, yang berwenang untuk memantau jalannya Pemilihan umum supaya berjalan lancar seperti yang diharapkan berbagai pihak,
5. Mengenai Tabulasi Nasional Pemilu atau mekanisme penghitungan suara.
Penyebab timbulnya berbagai macam jenis permasalahan seperti yang disebutkan diatas bisa saja atas dasar anggapan bahwa Pemilihan Umum adalah suatu ajang yang besar karena melibatkan seluruh rakyat negara tersebut. Sehingga diperlukan usaha yang sangat besar dari banyak pihak yang terkait, baik langsung maupun tidak langsung supaya Pemilihan Umum dapat berjalan lancar seperti yang diharapkan semua pihak.

pembentukan peraturan per-uu-an

BAB I
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Didalam kaitannya dengan pembentukan peraturan perundang-undangan adalah sama halnya dengan pembentukan hukum. Tradisi yang ada adalah pembentukan hukum Anglo sakson (Command Law) dan pembentukan hukum Eropa Kontinental ( Civil Law ). Di Indonesia sistem yang digunakan adalah sistem Eropa Kontinental dimana dalam pengaplikasiannya dituangkan didalam UU No 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Didalam Undang-undang tersebut disebutkan Hirarki Perundang-undangan Negara Indonesia, seperti yang disebutkan didalam pasal 7 ayat 1 UU No.10 tahun 2004 :
1. UUD 1945
2. UU/ Perpu
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah
• Perda provinsi
• Perda Kab/Kota
• Perdes
Didalam pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut pada dasarnya merupakan hak dari pada lembaga legislatif tetapi di Negara Indonesia lembaga Eksekutif juga dapat membuat peraturan perundang-undangan misalnya peraturan pemerintah dan peraturan presiden. Kedua peraturan tersebut adalah hak dari lembaga eksekutif untuk membuatnya.
Didalam buku tersebut disebutkan di dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan didalam konsedp pemisahan kekuasaan mutlak dilakukan lembaga legislative sedangkan lembaga lain tidak memiliki hak. Sedangkan didalam konsep pembagian kekuasaan pembentukan peraturan perundang-undangan dilaksanakan dengan baik oleh lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif. Tetapi penulis memiliki pendapat yang berbeda diantara konsep pemisahan dan pembagian kekuasaan seharusnya juga akademis juga memiliki hak yang disebut dengan hak akademis hal tersebut bertujuan agar produk peraturan perundang-undangan yang dibuat lebih responsive dan partisipatif. Karena didalam naskah akademis sendiri adalah gagasan awal yang memuat gagasan-gagasan pengaturan dan materi muatan peraturan perundang-undangan bidang tertentu. Didalam pembentukan naskah akademis harus memiliki materi hukum yang memiliki sifat holistic dan futuristic dari berbagai aspek disiplin ilmu dengan referensi yang memuat urgensi, konsepsi, landasan, dan alas hukum, prinsip-prinsip hukum yang digunakan serta norma-norma yang dituankan didalam pasal-pasal denagn mengajukan beberapa alternatif, yang disajikan dalam bentuk uraian dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmu hukum dan sesuai dengan politik hokum, sosiologi hukum yang telah digariskan.
Hal tersebutlah yang menjadi beberapa catatan kami tentang Bab I didalam buku tersebut.

BAB II
LANDASAN DAN ASAS-ASAS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
Didalam landasan pembentukan peraturan perundang-undangan memiliki 3 (tiga) aspek. Pertama, Aspek yuridis maksudnya agar produk hukum yang diterbitkan dapat berjalan sesuai dengan tujuan tanpa menimbulkan gejolak ditengah-tengah masyarakat, kedua, aspek sosiologis yang dimaksud agar produk hukum yang diterbitkan jangan sampai bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup di tengah-tengah masyarakat misalnya adat istiadat. Ketiga, aspek filosofis maksudnya agar produk hukum yang diterbitkan jangan sampai bertentangan dengan nilai-nilai hirarki ditengah-tengah masyarakat misalnya agama.
Menurut pendapat penulis aspek tersebut dapat di tambah dengan aspek historis. Pada aspek historis ini dimaksudkan agar produk hukum yang diterbitkan benar-benar menjadi kebutuhan dimasyarakat yang di ilhami dari sejarah yang hidup didalam masyarakat. Karena kecenderungan produk perundang-undangan yang dibuat sekarang selalu dilakukan revisi dalam tempo yang relatif singkat. Apabila hal tersebut sering terjadi penulis beranggapan hokum kita seolah-olah hanya sebuah permainan dan tidak memiliki kepastian hukum.
Sedangkan didalam asas peraturan perundang-undangan yang harus ada adalah asas keadilan. Kerana penulis beranggapan asa tersebut sangatlah fundamental yang harus ada didalam setiap pembentukan peraturan pembentukan peraturan perundang-undangan karena didalam keadilan sendiri memuat makna legalitas. Pengrtian keadilan dalam arti ini adalah berarti sesuai dengan dan diharuskan, apakah tata hukum positif, apakah tata hukum kapitalistik ataupu tata hukum demokratik atau otokratik Keadilan berarti pemeliharaan dalam hukum positif melalui penerapannya yang benar-benar sesuai dengan jiwa dari tata hukum positif tersebut.

BAB III
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
Terkait dengan Bab III ini yang perlu dipermasalahkan adalah produk peraturan perundang-undangan yang di keluarkan setiap lembaga negara. Ambil contohnya adalah Dewan Pertimbangan Daerah (DPD). Posisis DPD menurut Jimly Assidiqie adalah sebagai lembaga tinggi negara dimana kedudukannya sejajar dengan lembaga negara lain seperti DPR, maupun MPR. Tetapi mengapa DPD tidak diberikan ruang untuk membuat suatu produik hukum seperti halnya lembaga negara lain. Baik itu berupa kebijakan maupun keputusan. Praktis fungsi DPD tidak pernah dilibatkan didalam pembentukan produk di Indonesia.
Praktis didalam buku tersebuit tidak disinggung masalah tersebut walaupun memang secara Hirarki perundang undangan telah diatur sebagaimana tertulis didalam pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Mungkin beberapa catatan itu yang dapat disampaikan oleh penulis mudah-mudahan bermanfaat bagi semua. Terkait keseluruhan dari isi buku penulis berpikir sudah sangat baik dan sesuai dengan penulisan karya tulis yang lain.

LEMBAGA PARATE EKSEKUSI DALAM PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK HAK TANGGUNGAN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Hak tanggungan adalah suatu istilah baru dalam hukum jaminan yang diintrodusir oleh UUPA (UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria), yang sebelumnya belum dikenal sama sekali, baik dalam Hukum Adat maupun dalam KUH Perdata. Hak tanggungan atas tanah adalah merupakan bagian dari reformasi dibidang agraria, seperti yang ketentuan-ketentuan pokoknya diatur dalam UUPA, dimana dalam Pasal 51 disebutkan bahwa hak tanggungan dapat dibebankan kepada Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan diatur dengan undang-undang. Berdasarkan amanat Pasal 51 UUPA tersebut maka kemudian lahirlah UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah (dalam tulisan ini UU ini selanjutnya disebut UUHT).
Sebelum lahirnya UUHT, sesuai dengan ketentuan peralihan dalam Pasal 57 UUPA, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan tentang Hipotik seperti diatur dalam buku II KUH Perdata dan Credietverband tersebut dalam S. 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan S. 1937-190. Adanya dua macam hak jaminan ini karena waktu itu tanah-tanah masih dibedakan atas hak-hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak barat, dimana berlaku ketentuan-ketentuan tentang Hipotik seperti diatur dalam KUH Perdata dan hak-hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak Indonesia asli (adat), dimana berlaku ketentuan-ketentuan tentang Credietverband seperti diatur dalam S. 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan S. 1937-190.
Dengan berlakunya UUHT, sesuai dengan Pasal 29 UUHT tersebut, maka ketentuan-ketentuan mengenai Hipotik seperti diatur dalam buku II KUH Perdata dan ketentuan-ketentuan tentang Credietverband seperti diatur dalam S. 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan S. 1937-190 sepanjang mengenai pembebanan hak tanggungan atas hak-hak atas tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.
Ditetapkannya UUHT untuk menggantikan ketentuan perundang-undangan tentang Hipotik dan Credietverband tentu saja bukan tanpa pertimbangan yang mendasar. Seperti dapat dibaca dalam konsiderans UUHT, alasan penggantian tersebut tidak hanya didasarkan kepada filosofi yuridis, yaitu sebagai pelaksanaan dari amanat Pasal 51 UUPA seperti telah disebutkan di atas, tetapi juga didasarkan kepada filosofi sosiologis (Usman, 1998:42), yaitu bahwa disatu pihak ketentuan-ketentuan tentang Hipotik dalam KUH Perdata dan Credietverband dalam S. 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan S.1937-190, dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan sehubungan dengan perkembangan tata ekonomi Indonesia, dan di lain pihak untuk menyesuaikan dengan perkembangan yang telah dan akan terjadi di bidang pengaturan dan administrasi hak-hak atas tanah serta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak, sehingga selain Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan yang telah ditunjuk sebagai obyek hak tanggungan oleh UUPA yang dapat dilakukan eksekusi, maka Hak Pakai atas tanah tertentu yang wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahkan, perlu pula dimungkinkan untuk dibebani hak tanggungan.

1.2 Rumusan Masalah
Dari pembahasan yang akan disampaikan, rumusan permasalah dari pembahasan adalah :
1. Bagaimana kedudukan eksekusi apabila dihubungkan dengan ketentuan dalam Pasal 6 UUHT
2. Bagaimana kedudukan lembaga parate eksekusi,baik dilihat dari segi doktrin maupun dari segi praktek.

MAKALAH HAKI GUGATAN PENGADILAN NIAGA MENGENAI PATEN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 latar belakang
Ilmu pengetahuan seni dan sastra adalah karya cipta yang pada dasarnya merupakan karya intelektual. Karya-karya seperti itu tidak sekedar memiliki arti sebagai hasil akhir, tetapi juga sekaligus merupakan kebutuhan yang bersifat lahiriah dan batiniah. Oleh karenanya, pengembangan dan perlindungan karya dibidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra tidak mungkin dilepaskan dari usaha untuk lebih mengembangkan sumber daya manusia Indonesia.
Di bidang ini harus diakui bahwa indonesia masih banyak memerlukan berbagai keahlian dan ilmu pengetahuan, metode dan hasil-hasil kegiatan penelitian dan pengembangan dari bangsa lain. Termasuk didalamnya, karya-karya ciptaan di berbagai bidang terutama yang tertuang dalam bentuk buku.
Sejauh ciptaan tersebut tersedia dindonesia, sudah barang tentu tidaklah menjadi masalah. Cara bagaimana ciptaan tersebut dapat tersedia pada dasarnya diserahkan seluas-luasnya kepada masyarakat dengan sendirinya, sejauh hal itu sesuai dengan peratuaran perundang-undangan yang berlaku, khususnya di bidang hak cipta. Mekanisme niaga yang lazim, seperti melalui impor atau melalui perjanjian lisensi yang saling menghormati dan saling menguntungkan, betapapun perlu didorong dan ditingkatkan.
Seperti yang kita ketahui makin banyaknya penemuan-penemuan di bidang Intelektual, khususnya mengenai hasil kreasi ciptaan seseorang, makin banyak pula yang memanfaatkan hal tersebut untuk kepentingan individual semata dengan jalan memalsukan bahkan membajak hasil ciptaan seseorang . maka dari itu perlunnya suatu Undang-Undang yang mengatur secara tegas mengenai pelanggaran tersebut serata penegakan hukum yang adil, selain itu bagi yang hasil ciptaan merasa dibajak atau dipalsu, harus mengajukan suatu tuntutan kepada yang berwajib jika ingin masalah yang ia hadapi ingin diselsaikan secara adil.

1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana cara mengajukan Gugatan Hak Cipta kepengadilan Niaga?
b. Apakah sanksinya jika ada yang melanggar?

kajian Fatwa MUI terhadap pengharaman Golput

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 LATAR BELAKANG

Perilaku golput adalah haram. Demikian esensi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang melahirkan polemik di awal 2009. Fatwa yang dikeluarkan sebagai hasil Ijtimak Ulama Komisi Fatwa MUI III di Padang Panjang itu merupakan wujud itikad baik MUI dalam upaya memberdayakan masyarakat sebagai soko guru demokrasi. MUI merasa terpanggil dan bertanggungjawab terhadap berbagai persoalan masyarakat dan bangsa terutama menghadapi Pemilu 2009, baik pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden. Betapa tidak, mengingat secara statistika angka golput di Indonesia secara siginifikan cenderung bertambah. Data Kompas memperlihatkan, tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu Legislatif 1999 mencapai 92,74 persen dan turun pada Pemilu Legislatif 2004 menjadi 84,07persen. Tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu Presiden 2004 putaran I dan putaran II masing-masing 78,23 persen dan 77,44 persen.